Tak Bisakah...
Mentari pagi ini
terlihat begitu bersemangat menyinari bumi, menemani setiap langkahku menuju ke
sekolah. Aku awali pagi ini dengan senyum indah untuk menyambut hari yang kuharap
akan lebih indah. Aku percaya ketika semangat berkobar dalam jiwa, jalanan
penuh kerikil pun akan terasa seperti permadani. Setiap rintangan pasti akan
terasa mudah untuk kulewati.
Jarak dari rumah ke
sekolahku memang tidak dekat. Butuh sekitar 90 menit untuk sampai ke sekolahku.
Bangun pagi sudah menjadi rutinitasku. Jalanan yang padat, sudah menjadi teman
setiaku. Rasa jenuh pun hampir setiap hari menghampiriku. Rasanya bosan harus
melewati jalanan yang selalu dipadati kendaraan. Ditambah lagi tugas sekolah
yang selalu mengalir tanpa henti. Huuhh.. butuh kesabaran lebih untuk
menghadapi itu semua.
Namun, di tengah-tengah
kesibukan dan kepenatanku. Tuhan masih sangat berbaik hati karena telah
menciptakan seseorang yang dapat sedikit menghapus rasa jenuhku. Dia salah
seorang seniorku di organisasi sekolah, namanya Lintang. Menurutku, Kak Lintang
memang tidak begitu tampan. Matanya tidak bersinar, pipinya tidak merona,
hidungnya juga tidak terlalu mancung. Namun menurutku, perpaduan keseluruhannya
membuat suatu keindahan yang mendekati kesempurnaan.
Sebenarnya aku bukan
tipikal orang yang mudah untuk jatuh cinta. Ini kali pertamaku. Aku tidak
pandai menghadapi situasi seperti ini. Aku bingung apa yang harus aku lakukan
saat bertemu dengan Kak Lintang. Aku selalu berusaha menutupi semua yang
kurasa. Hanya memandangnya dari kejauhan, menikmati keindahan garis punggungnya,
dan menoleh kearah yang berbeda saat sang pemilik punggung menoleh ke arahku.
Bukan tanpa alasan aku
tidak mau mengutarakan perasaanku pada Kak Lintang. Banyak yang aku takutkan
jika Kak Lintang tahu akan perasaanku. Aku takut perasaan ini malah akan
menjadi jarak antara aku dengan Kak Lintang. Belum lagi, posisiku sebagai
junior. Di sekolahku ada perbedaan antara junior dengan senior. Jadi, rasanya
tidak mungkin jika aku mengutarakan perasaanku kepada Kak Lintang. Namun, harus
sampai kapan aku menutupi semua ini?
Aku sadar, aku memang
jauh dari kata sempurna. Aku tidak secantik senior-senior perempuanku yang
tentunya lebih dekat dengan Kak Lintang. Aku juga tidak sepandai mereka dalam
pelajaran maupun dalam pergaulan. Bahkan aku tidak sekaya mereka yang bisa
pergi kemana saja dan belanja apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Aku
hanyalah seorang junior yang tidak bisa berkata apa-apa saat Kak Lintang
tertawa bahagia dengan perempuan lain.
Waktu terus bergulir, detik
jam terus berputar tanpa lelah hingga kini detik telah berubah menjadi tahun.
Detik-detik kelulusan Kak Lintang semakin terasa dekat. Aku semakin dilanda
kebingungan akan perasaanku. Bagaimana mungkin aku mencintai Kak Lintang hampir
selama 3 tahun, namun tidak seorangpun tahu tentang hal ini. Aku rasa aku harus
mengumpulkan semua keberanianku untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya.
Atau setidaknya, aku harus member kode tertentu agar Kak Lintang mengerti
perasaanku.
“Kak, nanti pulang
sekolah ngumpul organisasi kan?” Tanyaku basa-basi kepada Kak Lintang saat aku
bertemu denganya di kantin.
“Iya, De. Bukanya udah
dikasih tau kalo ngumpul ya?” Jawab sekaligus tanya Kak Lintang yang membuatku
hampir membisu.
“Engh, iya udah dikasih
tau sih kak. Cuma mastiin aja.” Jawabku sambil menggaruk kepalaku yang sama
sekali tidak terasa gatal ini.
“Oh, yaudah.” Jawabnya
sambil berlalu meninggalkanku.
“Engg, kak. Nanti kakak
dateng kan?” Tanyaku lagi yang sebenarnya membuatku hampir kehilangan wajah di
telan rasa malu.
“Kok kamu nanyain saya?
Emang kenapa?” Tanya Kak Lintang yang entah harus aku jawab apa.
“Gak kenapa-kenapa sih.
Sebentar lagi kan kakak lulus, jadi jangan bolos organisasi ya, Kak. Nanti kita
gak bisa ketemu lagi.” Jawabku spontan tanpa berfikir apa yang akan terjadi
setelahnya.
“Oh, gitu. Iya, tenang
aja. Kakak dateng kok, De.” Jawabnya disertai senyum yang terlihat lebih dari
sekedar menawan.
Sikap Kak Lintang
memang lebih dingin dibandingkan suhu salju abadi yang terletak di ujung
pegunungan Jaya Wijaya. Namun, itu semua tidak merubah perasaanku sejak lebih
dari 2 tahun yang lalu. Rasanya hatiku sudah kebal akan semua sikap cueknya.
Detik-detik kelulusan
Kak Lintang semakin dekat. Namun, belum ada tanggapan apapun dari Kak Lintang
tentang semua kode yang telah aku berikan. Apa aku kurang jelas dalam
memberikan setiap pesan yang tersirat dari tingkah lakuku? Atau memang Kak
Lintang bukanlah orang yang peka terhadap pesan yang kusiratkan? Atau
sebenarnya Kak Lintang mengerti akan semua yang ingin aku sampaikan, hanya saja
dia tidak memperdulikannya? Ah, semua ini membuatku semakin bingung.
Hingga tiba saatnya
kelulusan, dan Kak Lintang masih saja bersikap dingin terhadapku. Tak bisakah
ia bersikap manis kepadaku? Walau sekali saja. Aku sudah kehabisan akal untuk
menghadapinya. Rasa sakit ketika Kak Lintang tidak menanggapi perlakuanku
selalu menghampiriku setiap waktu. Tak ada yang bisa mengerti dan mengobati
rasa sakit ini. Kini tinggal waktu yang mengerti semuanya. Mulutku telah
membisu melihat Kak Lintang dengan jas hitamnya saat kelulusan sekolah.
“Kak, aku….” Aku ingin
mengucapkan kata perpisahan, hanya saja terasa seperti sesuatu menyendat
kerongkonganku hingga aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
“Kenapa, De?” Tanya Kak
Lintang. Tidak terdengar satu katapun keluar dari bibirku. Rasanya tubuhku kaku
dan bibirku melekat satu sama lain hingga aku tidak bisa mengeluarkan sepatah
kata pun.
Kak Lintang hanya
menaikan satu alisnya dan kembali berjalan menjauh. Lagi-lagi aku hanya bisa
menikmati keindahan garis punggung laki-laki yang telah mengisi kekosongan
hatiku selama kurang lebih 2 tahun ini. Punggung itu semakin menjauh, kemudian
berhenti di satu titik.
“Kakak fikir, semua
laki-laki itu peka. Hanya saja mereka menanggapinya dengan cara mereka
masing-masing. Terutama seorang laki-laki yang telah memiliki belahan jiwanya.”
Ucap Kak Lintang tiba-tiba yang berhasil membuat sebuah air terjun kecil dari
ujung mataku. Dan punggung itu kembali menjauh meninggalkanku dengan semua
perasaan ini.
Kini aku tahu jawaban
akan semua pertanyaan yang telah lama bersarang di otakku. ‘Mengapa Kak Lintang selalu bersikap dingin kepadaku? Apa aku kurang
jelas dalam memberikan setiap pesan yang tersirat dari tingkah lakuku? Atau
memang Kak Lintang bukanlah orang yang peka terhadap pesan yang kusiratkan?
Atau sebenarnya Kak Lintang mengerti akan semua yang ingin aku sampaikan, hanya
saja dia tidak memperdulikannya?’
Ya, Kak Lintang memang
orang yang cerdas. Harusnya aku sadar akan hal itu. Tentu saja dia mengerti
akan semua pesan yang tersirat dalam setiap tingkah lakuku. Hanya saja, dia
menanggapi semua pesan itu dengan caranya sendiri. Karena seseorang di kejauhan
sana telah berhasil mencuri hati Kak Lintang tanpa mau membaginya sedikitpun.
T
A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar