Rabu, 01 April 2015

Cerpen (Tak Bisakah...)


Tak Bisakah...

Mentari pagi ini terlihat begitu bersemangat menyinari bumi, menemani setiap langkahku menuju ke sekolah. Aku awali pagi ini dengan senyum indah untuk menyambut hari yang kuharap akan lebih indah. Aku percaya ketika semangat berkobar dalam jiwa, jalanan penuh kerikil pun akan terasa seperti permadani. Setiap rintangan pasti akan terasa mudah untuk kulewati.

Jarak dari rumah ke sekolahku memang tidak dekat. Butuh sekitar 90 menit untuk sampai ke sekolahku. Bangun pagi sudah menjadi rutinitasku. Jalanan yang padat, sudah menjadi teman setiaku. Rasa jenuh pun hampir setiap hari menghampiriku. Rasanya bosan harus melewati jalanan yang selalu dipadati kendaraan. Ditambah lagi tugas sekolah yang selalu mengalir tanpa henti. Huuhh.. butuh kesabaran lebih untuk menghadapi itu semua.

Namun, di tengah-tengah kesibukan dan kepenatanku. Tuhan masih sangat berbaik hati karena telah menciptakan seseorang yang dapat sedikit menghapus rasa jenuhku. Dia salah seorang seniorku di organisasi sekolah, namanya Lintang. Menurutku, Kak Lintang memang tidak begitu tampan. Matanya tidak bersinar, pipinya tidak merona, hidungnya juga tidak terlalu mancung. Namun menurutku, perpaduan keseluruhannya membuat suatu keindahan yang mendekati kesempurnaan.


Sebenarnya aku bukan tipikal orang yang mudah untuk jatuh cinta. Ini kali pertamaku. Aku tidak pandai menghadapi situasi seperti ini. Aku bingung apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengan Kak Lintang. Aku selalu berusaha menutupi semua yang kurasa. Hanya memandangnya dari kejauhan, menikmati keindahan garis punggungnya, dan menoleh kearah yang berbeda saat sang pemilik punggung menoleh ke arahku.

Bukan tanpa alasan aku tidak mau mengutarakan perasaanku pada Kak Lintang. Banyak yang aku takutkan jika Kak Lintang tahu akan perasaanku. Aku takut perasaan ini malah akan menjadi jarak antara aku dengan Kak Lintang. Belum lagi, posisiku sebagai junior. Di sekolahku ada perbedaan antara junior dengan senior. Jadi, rasanya tidak mungkin jika aku mengutarakan perasaanku kepada Kak Lintang. Namun, harus sampai kapan aku menutupi semua ini?

Aku sadar, aku memang jauh dari kata sempurna. Aku tidak secantik senior-senior perempuanku yang tentunya lebih dekat dengan Kak Lintang. Aku juga tidak sepandai mereka dalam pelajaran maupun dalam pergaulan. Bahkan aku tidak sekaya mereka yang bisa pergi kemana saja dan belanja apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Aku hanyalah seorang junior yang tidak bisa berkata apa-apa saat Kak Lintang tertawa bahagia dengan perempuan lain.

Waktu terus bergulir, detik jam terus berputar tanpa lelah hingga kini detik telah berubah menjadi tahun. Detik-detik kelulusan Kak Lintang semakin terasa dekat. Aku semakin dilanda kebingungan akan perasaanku. Bagaimana mungkin aku mencintai Kak Lintang hampir selama 3 tahun, namun tidak seorangpun tahu tentang hal ini. Aku rasa aku harus mengumpulkan semua keberanianku untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Atau setidaknya, aku harus member kode tertentu agar Kak Lintang mengerti perasaanku.

“Kak, nanti pulang sekolah ngumpul organisasi kan?” Tanyaku basa-basi kepada Kak Lintang saat aku bertemu denganya di kantin.

“Iya, De. Bukanya udah dikasih tau kalo ngumpul ya?” Jawab sekaligus tanya Kak Lintang yang membuatku hampir membisu.

“Engh, iya udah dikasih tau sih kak. Cuma mastiin aja.” Jawabku sambil menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal ini.

“Oh, yaudah.” Jawabnya sambil berlalu meninggalkanku.

“Engg, kak. Nanti kakak dateng kan?” Tanyaku lagi yang sebenarnya membuatku hampir kehilangan wajah di telan rasa malu.

“Kok kamu nanyain saya? Emang kenapa?” Tanya Kak Lintang yang entah harus aku jawab apa.

“Gak kenapa-kenapa sih. Sebentar lagi kan kakak lulus, jadi jangan bolos organisasi ya, Kak. Nanti kita gak bisa ketemu lagi.” Jawabku spontan tanpa berfikir apa yang akan terjadi setelahnya.

“Oh, gitu. Iya, tenang aja. Kakak dateng kok, De.” Jawabnya disertai senyum yang terlihat lebih dari sekedar menawan.

Sikap Kak Lintang memang lebih dingin dibandingkan suhu salju abadi yang terletak di ujung pegunungan Jaya Wijaya. Namun, itu semua tidak merubah perasaanku sejak lebih dari 2 tahun yang lalu. Rasanya hatiku sudah kebal akan semua sikap cueknya.

Detik-detik kelulusan Kak Lintang semakin dekat. Namun, belum ada tanggapan apapun dari Kak Lintang tentang semua kode yang telah aku berikan. Apa aku kurang jelas dalam memberikan setiap pesan yang tersirat dari tingkah lakuku? Atau memang Kak Lintang bukanlah orang yang peka terhadap pesan yang kusiratkan? Atau sebenarnya Kak Lintang mengerti akan semua yang ingin aku sampaikan, hanya saja dia tidak memperdulikannya? Ah, semua ini membuatku semakin bingung.

Hingga tiba saatnya kelulusan, dan Kak Lintang masih saja bersikap dingin terhadapku. Tak bisakah ia bersikap manis kepadaku? Walau sekali saja. Aku sudah kehabisan akal untuk menghadapinya. Rasa sakit ketika Kak Lintang tidak menanggapi perlakuanku selalu menghampiriku setiap waktu. Tak ada yang bisa mengerti dan mengobati rasa sakit ini. Kini tinggal waktu yang mengerti semuanya. Mulutku telah membisu melihat Kak Lintang dengan jas hitamnya saat kelulusan sekolah.

“Kak, aku….” Aku ingin mengucapkan kata perpisahan, hanya saja terasa seperti sesuatu menyendat kerongkonganku hingga aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.

“Kenapa, De?” Tanya Kak Lintang. Tidak terdengar satu katapun keluar dari bibirku. Rasanya tubuhku kaku dan bibirku melekat satu sama lain hingga aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Kak Lintang hanya menaikan satu alisnya dan kembali berjalan menjauh. Lagi-lagi aku hanya bisa menikmati keindahan garis punggung laki-laki yang telah mengisi kekosongan hatiku selama kurang lebih 2 tahun ini. Punggung itu semakin menjauh, kemudian berhenti di satu titik.

“Kakak fikir, semua laki-laki itu peka. Hanya saja mereka menanggapinya dengan cara mereka masing-masing. Terutama seorang laki-laki yang telah memiliki belahan jiwanya.” Ucap Kak Lintang tiba-tiba yang berhasil membuat sebuah air terjun kecil dari ujung mataku. Dan punggung itu kembali menjauh meninggalkanku dengan semua perasaan ini.

Kini aku tahu jawaban akan semua pertanyaan yang telah lama bersarang di otakku. ‘Mengapa Kak Lintang selalu bersikap dingin kepadaku? Apa aku kurang jelas dalam memberikan setiap pesan yang tersirat dari tingkah lakuku? Atau memang Kak Lintang bukanlah orang yang peka terhadap pesan yang kusiratkan? Atau sebenarnya Kak Lintang mengerti akan semua yang ingin aku sampaikan, hanya saja dia tidak memperdulikannya?’

Ya, Kak Lintang memang orang yang cerdas. Harusnya aku sadar akan hal itu. Tentu saja dia mengerti akan semua pesan yang tersirat dalam setiap tingkah lakuku. Hanya saja, dia menanggapi semua pesan itu dengan caranya sendiri. Karena seseorang di kejauhan sana telah berhasil mencuri hati Kak Lintang tanpa mau membaginya sedikitpun.

T A M A T


Tidak ada komentar:

Posting Komentar