Kamis, 08 Maret 2012

Puisi Berbentuk Prosa



Love Letter


Gores penaku terhenti di awal kata memberi jeda untuk seberkas senyum yang kental bergolak di pelupuk mata.

Dan ingatanku melayang kepada pertemuan kita di awal tahun pada prasangka sinis yang kutebar saat masih bermuram mendung. Ketika tawa tak lagi mampu terasa, ketika canda kuanggap nyata.

Andaikan kau seperti bintang bintang yang lain yang bersinar memamerkan parasnya, barangkali jiwa ini tak pernah terketuk melongok masuk mengintip apa saja semburat warna yang kau sembunyikan dibalik cadar samar.

Aku tak pernah peduli pada pelangi karena kedatangannya sekejap lantas pergi. 



Aku tak peduli pada manisnya madu yang berjejer merdu di setiap kakiku melangkah maju.

Bukan, bukan pada pelangi kutaruh mimpiku, bukan pada bintang kutaruh harapku. Bukan pula pada kobaran kembang api yang menyalak di malam gelap.

Karena aku tak menaruh mimpi, tak menaruh harap, tak pula menjala madu. Agar kita tak terluka oleh gores belati yang ditinggalkannya ketika angin telah bosan dan berlalu.

Kubiarkan pintuku terbuka lebar, lihatlah ke dalam. Jelaga jelaga hitam menumpuk disana sini. Bekas bekas luka yang masih menyisakan nanahnya. Juga jendela besi yang terlanjur ada tanpa pernah kumaui. Akankah kau, kita mampu bertahan???

Disini, ditemani rintik rintik gerimis kulukiskan sabda liris tanpa tanda baca. Bukan pemujaan bukan rangkaian kata sayang dan cinta yang kerap keluar tanpa pernah sadar kita tengah menambah bara di neraka. Hujan gerimis yang membebaskan diri kita menjadi rintik rintik merdeka. Menjadi diri sendiri lengkap dengan segala cela yang turun jatuh membasahi bumi.

Di ujung paragaraf  kuingatkan dengan selarik oktaf, aku tak punya madu yang bisa memberi manis minumanmu. Aku tak punya bintang yang dapat menerangi gelapmu. Yang kupunya hanya rintik hujan tempat kita bermain sehari hari dengan bebas. Tempat kita  berlari dalam deras. Tempat kita bisa tertawa dan menangis lepas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar